Tidak menyangka, saya bisa menjejaki kaki dalam perjalanan singkat di Tanah Marapu.
Ini menjadi perjalanan pertama saya di Pulau Sumba. Sebuah pulau yang belum
ada di bayangan saya seperti apa. Sungguh menyenangkan mendapat kesempatan
berkunjung dalam perjalanan singkat ini. Dan tentunya akan menjadi
pengalaman pertama yang tidak terlupakan. Maka dari itu saya ingin berbagi.
Berbagi hasil pengamatan singkat saya sepanjang menapaki jalan di pulau ini.
Perjalanan saya dari Pulau Bali menuju Pulau Sumba ditempuh dalam waktu 1,5
jam penerbangan dari Bandara Ngurah Rai ke Bandara Tambolaka yang ada di Kabupaten
Sumba Barat Daya.
Dalam bayangan
saya, biasanya penerbangan dengan pesawat GA adalah pesawat yang besar,
perjalanan yang serasa dekat dengan awan. Intinya
mengagumkan lah.
Pesawat GA kali
ini ukurannya lebih kecil, mungkin tidak ada lebih dari 50 kursi. Garuda
Explore kurang lebih seperti itu nama pesawatnya.
Di dalam pesawat saya hanya duduk diam menunggu pesawat mendarat
dan sesekali memandangi jendela. Pemandangan dari jendela pesawat pun
terasa berbeda, maklum pertama kali ke daerah timur Indonesia. Pesawat melintasi lautan Bali, pualu-pulau dan perairan Nusa Tenggara Barat dan tibalah saya di ketinggian dengan bentang alam daratan yang sangat berbeda
dengan Pulau Bali. Tanah lapang, semak-semak, pepohonan, dan bukit yang
terlihat kering dan sedikit pemukiman penduduk yang terlihat dari atas pesawat.
Rasa penasaran
pun semakin menyeruak. Sepertinya panasnya Sumba akan menyambut saya. Dalam
waktu beberapa menit saya akan mendarat di Bandara Tambolaka. Dan lagi-lagi
dalam bayangan saya, bandara disini seperti Bandara di Bali. Namun kenyataannya
berbeda.
Saya pun turun
dari pesawat, memang hawa panas menyambut begitu pula angin kencang dengan hawa
kering. Arsitektur bandara dengan rumah adat khas Sumba atau disebut rumah
Manara terlihat. Memasuki terminal bandara, jeng jeng.. sepi sekali. Yang ada
hanya warga lokal yang menunggu kedatangan keluarga atau kerabat. Itu pun
sedikit, bahkan yang saya lihat ada nenek-nenek yang mungkin menunggu
kedatangan keluarga sambil makan sirih. Mulut mereka tampak berwarna merah
akibat cairan dari daun sirih yang dikunyah.
Sepi sekali dan
bangunan bandara pun masih sederhana, tidak ada para penjemput yang ramai,
restoran yang menjajakan makanan, bahkan taksi atau travel bandara yang
menawarkan jasa pun tidak ada. Kantin bandara pun hanya sebuah warung kecil
yang tidak permanen, pos penjaga pintu masuk yang sederhana dan suasana
anak-anak bermain di sekitar bandara.
Di sisi lain
saya pun berpikir, kondisi disini sangat berbeda dengan bandara di Bali yang
penuh dengan prestise sebagai sebuah bandara internasional. Sedangkan di
Bandara Tambolaka memang sepenuhnya difungsikan sebagai sarana transportasi yang
mengangkut para penumpang antar pulau dengan kecepatan waktunya dibandingkan
dengan kapal laut.
Mencari tempat
makan siang pun susah. Karena memang didominasi oleh hamparan tanah kosong,
pepohonan dan hewan ternak. Jarak antar rumah warga pun berjauhan. Perjalanan saya
selanjutnya menuju sebuah pantai di daerah Waitabula yang bernama Pantai
Waikelo, sebelum menjemput seorang teman lagi dan menuju ke tempat tujuan saya di
daerah Waibakul.
Walaupun di bawah terik matahari, tetapi saya tetap bersemangat ketika
sampai di Pantai Waikelo. Rasa penasaran pun semakin menjadi-jadi dan ingin segera
berkeliling di pantai ini. Saya disambut oleh serombongan anak SD yang berasal
dari daerah Kodi. Mereka mengadakan acara perpisahan siswa kelas 6 di pantai
ini. Mereka menggunakan mobil pick up dan truk yang ditempuh dalam waktu 1,5
jam dari Kodi hingga sampai di pantai ini. “ Perpisahan diikuti oleh siswa kelas
3 sampai 6. Ada acara makan bersama, menyanyi dan bermain,” ujar Arce siswi
kelas 6 dengan logat khas Sumba yang
sempat saya ajak ngobrol.
Pantai Waikelo kala itu tidak ramai dikunjungi masyarakat, hanya diramaikan
oleh rombongan anak SD dari Kodi itu. Pantainya dikelilingi karang dan
anak-anak nampak asyik bermain mencari ikan-ikan kecil.
Tidak hanya sampai di Pantai Waikelo, perjalanan saya pun berlanjut.
Jalanan pun tidak begitu ramai, suasana pasar masih tradisional, banyak debu
beterbangan.
Sebagian besar dataran Sumba didominasi oleh padang sabana. Hamparan rumput
nampak di sisi jalan, yang menjadi tempat hidup bagi kuda-kuda Sumba yang
dikenal dengan nama Kuda Sandelwood. Selain itu rombongan kerbau pun tak kalah
kompak meramaikan jalanan seusai merumput.
Hal unik pun menjadi pertanyaan. Saya melihat rumah dengan kuburan di depan
rumah. Kata seorang teman, itu memang kuburan. Biasanya kuburan keluarga, bisa
jadi orang tua atau kakek dan nenek. Maksudnya walaupun mereka telah meninggal
namun tetap ada diantara keluarga yang ditinggalkan. Kepercayaan Marapu masih
tetap hidup di tengah masyarakat Sumba walaupun agama Kristen dipeluk oleh
sebagian besar masyarakat.
Jalanan diramaikan oleh kerbau yang menyebrang sembarangan, anak-anak yang
bermain di sore itu dan tentu saja hawa dingin di sepanjang perjalanan. Hari semakin
sore menuju malam, perjalanan pun tetap berlanjut melintasi jalanan berliku
tanpa lampu penerangan jalan menuju bukit hingga sampai di daerah Waitabula...
ceritanya bersambung donk...
BalasHapusIya mas, masih bersambung.. Tunggu cerita yg lain juga ya.. hihihi :D
BalasHapusAmazing.. Ayo tulis lagi..hihi
BalasHapusKereeen Ary!! hehe
BalasHapusHarga tiket pesawatnya berapa tuh? Keep writing ya :)
arista
Hahaha bersambung... ditunggu lanjutannya :)
BalasHapus@gede hihihi.. iya2.. ayo nulis juga :D
BalasHapus@arista Makasi Arista! Blogmu juga kereenn, jalan2 juga nih. hehehe.. ayo menulis dan berbagi cerita :D tiketnya sekitar 2,1 jutaan.
@kakcan hehehe.. ternyata kak can singgah juga. Makasi kak sudah membaca :D
haha makasih ya ary :p. Tadi gak sengaja liat blogmu di facebook makanya aku buka. hehe bagi-bagi cerita yah nanti aku bagiin jg hehe. itu PP atau 1 x jalan? lumayan mahal ya hehe
BalasHapusAsik banget baca tulisanmu Ry eh ternyata bersambung. Jadi penasaran ama kelanjutannya.
BalasHapus@arista itu tiketnya udah PP ris. hehehe.. Semangat ya,, rajin nih update. Uhuuy :D
BalasHapus@blikomang Makasi bli, semacam sinetron ya bersambung gitu. Makasi sudah berkunjung di blogku. Nanti kalo ada waktu aku bikin sambungannya hehehe :D
iya lumayan mahal berarti 1 jutaan skali jalan ya hahaha. kalo lagi sempet mah rajin yu tapi klo udah sibuk ya gak update hehe.. km jg semangat ya :)
BalasHapus