Kamis, 04 September 2014

Menebus Dosa Hingga Telur Mereka Menetas

Jika saat tahun 1970an, Kelompok Ramayana mempunyai kegemaran memburu puluhan ribu penyu hingga ke Alas Purwo, Jawa Timur, saat ini penerusnya yang menamai diri Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih melakukan hal sebaliknya. Mencoba melestarikan penyu bagi generasi masa depan.

“Ibarat menebus dosa masa lalu. Dulu ayah saya seorang pemburu penyu,” ungkap I Wayan Anom Astika Jaya, Bidang Konservasi Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih, Dusun Mekarsari, Desa Perancak, Kabupaten Jembrana, Bali.

Sekitar 95% penduduk Desa Perancak memang menggantungkan kehidupannya dari laut. Hal ini membuat sebuah kelompok nelayan bernama Ramayana berjaya pada zamannya. “ Pada tahun 1970an, hasil tangkapan penyu yang didapat kelompok ini cukup banyak. Mulai dari penyu belimbing, sisik dan hijau. Hal ini pun terjadi terus-menerus bahkan kelompok ini memilik kandang penyu sendiri,” cerita I Wayan Anom Astika Jaya.

Memasuki era 1990an membuat benak ayah I Wayan Anom Astika Jaya, I Wayan Tirta menjadi jengah. I Wayan Tirta yang kini menjadi Ketua Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih bersama anggota Kelompok Ramayana yang lain mulai memutar otak. Semakin berkurangnya jumlah populasi penyu dan Bali yang menjadi sorotan internasional terkait pemburuan penyu.

Berdasarkan data Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA), pada tahun 1969 sampai 1999, kebutuhan penyu di Bali khususnya penyu hijau (Chelonia mydas) mencapai 19.628 ekor hingga 30.121 ekor per tahun. Terlebih lagi pembeberan bukti bahwa Bali menjadi tempat pembantaian sekitar 35.000 penyu pada tahun 1996 membuat I Wayan Tirta bersama anggota lainnya untuk “menebus dosa”.

Kedatangan World Wildlife Fund (WWF) di tahun yang sama menjadi angin segar bagi pelestarian penyu di Desa Perancak. “Tahun 1996, WWF datang untuk melihat dan meninjau kawasan habitat penyu di pantai daerah Perancak,” lanjut I Wayan Astika Jaya.

Hal serupa diungkapkan pula oleh I Komang Gunawan, “ Dari WWF membantu dan mengajarkan kami tentang konservasi. Dulu ayah saya juga seorang pemburu penyu,” ucap pria yang menjadi Sekretaris Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih ini.

Setahun kemudian, seekor penyu lekang (Lepidochelys olivacea)  mendarat untuk bertelur di areal Pantai Perancak. Ditemukannya empat sarang penyu dengan jumlah telur sebanyak 398 butir mulai menjadikan kawasan ini favorit bagi penyu untuk bertelur.

Tahun 1997 menjadi awal penebusan dosa I Wayan Tirta dan teman-temannya. Melalui pendampingan dari WWF, Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih terbentuk. Secara resmi kelompok ini berdiri pada 11 Juni 1997 dan menjadi satu-satunya kelompok yang bergerak di bidang pelestarian penyu dari 260 kelompok pelaku utama perikanan di Kabupaten Jembrana.

Dengan mengusung nama “Kurma Asih” yang berasal dari bahasa Sansekerta. Kurma berarti penyu dan Asih berarti sayang. Kawasan pelestarian penyu ini kini menempati areal seluas 22 are di daerah pesisir Pantai Perancak. Tanah tersebut merupakan hibah dari Gubernur Bali pada tahun 2000.

“Dulu memang sangat sederhana sekali. Hanya menggunakan daun kelapa sebagai atap dan terpal berisi air asin tempat penyu kecil ditempatkan sementara sebelum dilepas,” ungkap I Komang Gunawan sambil menunjukkan kolam-kolam penyu yang kini sudah dibuat permanen dari semen.

Peningkatan jumlah penetasan telur penyu semi alami dari tahun 1997 hingga 2013 pun terjadi. Jumlah sarang yang awalnya hanya 4 sarang pada tahun 1997 meningkat lebih dari 4 kali lipat di tahun 2010 yang mencapai 455 sarang dengan 36.400 butir telur penyu.

Jenis penyu yang menetaskan telur di tempat ini beragam mulai dari Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Penyu lekang (Lepidochelys olivacea) menjadi penyu dominan yang bertelur. Hingga tahun 2013 jumlah tukik yang dilepas adalah sebanyak 182.769 butir dari 190.184 butir telur yang menetas.

Bulan April hingga September biasanya menjadi musim bagi para penyu yang singgah ke wilayah pesisir Perancak untuk bertelur. Kondisi pesisir Perancak yang berpasir hitam membuat penyu-penyu siap menetaskan calon tukik mereka. Hal ini membuat I Komang Gunawan dan kelompoknya berjaga saat musim-musim ini. “ Kami selalu melakukan monitoring saat musim penyu bertelur,” kata pria yang akrab disapa Sinyo ini.

Jumlah anggota kelompok yang tidak begitu banyak, tidak menyurutkan niat anggota kelompok ini untuk menjaga kelestarian penyu. Beranggotakan 15 orang, kelompok swadaya masyarakat ini tidak merasa kecil. “Kami merasa besar karena banyak pihak yang mendukung. Sekalipun mereka tidak langsung terlibat. Namun dukungan secara moriil sangat berarti,” ujar I Wayan Anom Astika Jaya.

Pria berusia 48 tahun ini menyebutkan salah satu kelompok Nelayan bernama Mina Benteng Perkasa yang ada di daerah Perancak juga turut memiliki keprihatinan dan kepedulian yang besar terhadap konservasi sumber daya alam yang ada.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menjadi acuan kelompok ini bekerja.Terlebih lagi dengan adanya pencadangan KKP yang akan melibatkan Kurma Asih, membuat I Wayan Anom Astika Jaya mewakili kelompoknya menyambut baik program ini. “ Program yang sangat brilian. Seyogyanya masyarakat dilibatkan karena masyarakat yang akan menjadi pemeran utama. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat posisi dalam bentuk perlindungan. Sebenarnya Kurma Asih sudah memulainya. KKP akan menjadi sebuah pemerkuat konservasi,” komentarnya.

Pencadangan KKP ke depannya akan membawa angin segar bagi para penyu untuk singgah bertelur di Perancak. Tukik-tukik akan siap menetas tanpa dibayangi rasa takut. Penebusan dosa yang dilakukan I Wayan Tirta bersama penerus dan kelompoknya memberikan harapan bagi generasi mendatang. Melihat tukik besar menjadi penyu dan kembali ke Perancak untuk menetaskan generasi mereka.

*Tulisan ini saya tulis untuk website jejaring KKP Bali http://nyegaragunung.net/dari-pemburu-jadi-pelindung-penyu/ dengan diedit sebelumnya. Inilah tulisan asli sebelum diedit.

Senin, 01 September 2014

 Japanese Cave in Klungkung



Bali is not only famous with Kuta Beach and Mount Agung. Historical attractions also become something interest to visit.

Across the border of Gianyar and Klungkung , will be marked by a large statue of an elephant with a deer on it . But there are interesting in this border, a row of caves in the sights of the region.

Local people called it a Japanese Caves. It called so because is supposedly used as a hiding place for Japanese troops during World War 2 . The height of caves was not so high. There are 16 caves with the height no more than 170 cm . Commonly this height was the size of the Japanese troops who hide in this caves.

Japanese cave become a silent witness to the history of colonization that occurred in the past . But unfortunately not enough information boards posted at the entrance of this historical site. Sixteen caves are connected to each other . The depth of the cave was not so deep. The first cave is located in the north, while the last cave is located in the south side which is marked by a house where a sculptor and painter Sabda Alam, Made Sukanta Wahyu put his sculpture carvings.
This lack of information makes the tourists do not appear to look down this cave. Moreover billboards candidates appear to cover the existence of this cave from the road. Lack of government attention to the historical sites makes even less attractive to visit by tourists. At least, this site become a silent witness history in Bali.

Only old local people looked around this area. They look clean the bottom of the cave and put firewood from the forest in the cave. Natural shades are very visible in this cave area. Tukad Bubuh and large elephant statue with deer on it becomes a marker where the caves are located. Which is on the right side of the road towards the town of Gianyar .






Selasa, 01 Juli 2014

Sepenggal Kisah Perjalanan di Pulau Sumba


Tidak menyangka, saya bisa menjejaki kaki dalam perjalanan singkat di Tanah Marapu.




Ini menjadi perjalanan pertama saya di Pulau Sumba. Sebuah pulau yang belum ada di bayangan saya seperti apa. Sungguh menyenangkan mendapat kesempatan berkunjung dalam perjalanan singkat ini. Dan tentunya akan menjadi pengalaman pertama yang tidak terlupakan. Maka dari itu saya ingin berbagi. Berbagi hasil pengamatan singkat saya sepanjang menapaki jalan di pulau ini.

Perjalanan saya dari Pulau Bali menuju Pulau Sumba ditempuh dalam waktu 1,5 jam penerbangan dari Bandara Ngurah Rai ke Bandara Tambolaka yang ada di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Dalam bayangan saya, biasanya penerbangan dengan pesawat GA adalah pesawat yang besar, perjalanan yang serasa dekat dengan awan. Intinya mengagumkan lah.

Pesawat GA kali ini ukurannya lebih kecil, mungkin tidak ada lebih dari 50 kursi. Garuda Explore kurang lebih seperti itu nama pesawatnya. 

Di dalam pesawat saya hanya duduk diam menunggu pesawat mendarat dan sesekali memandangi jendela. Pemandangan dari jendela pesawat pun terasa berbeda, maklum pertama kali ke daerah timur Indonesia. Pesawat melintasi lautan Bali, pualu-pulau dan perairan Nusa Tenggara Barat dan tibalah saya di ketinggian dengan bentang alam daratan yang sangat berbeda dengan Pulau Bali. Tanah lapang, semak-semak, pepohonan, dan bukit yang terlihat kering dan sedikit pemukiman penduduk yang terlihat dari atas pesawat.

Rasa penasaran pun semakin menyeruak. Sepertinya panasnya Sumba akan menyambut saya. Dalam waktu beberapa menit saya akan mendarat di Bandara Tambolaka. Dan lagi-lagi dalam bayangan saya, bandara disini seperti Bandara di Bali. Namun kenyataannya berbeda.

Saya pun turun dari pesawat, memang hawa panas menyambut begitu pula angin kencang dengan hawa kering. Arsitektur bandara dengan rumah adat khas Sumba atau disebut rumah Manara terlihat. Memasuki terminal bandara, jeng jeng.. sepi sekali. Yang ada hanya warga lokal yang menunggu kedatangan keluarga atau kerabat. Itu pun sedikit, bahkan yang saya lihat ada nenek-nenek yang mungkin menunggu kedatangan keluarga sambil makan sirih. Mulut mereka tampak berwarna merah akibat cairan dari daun sirih yang dikunyah.

Sepi sekali dan bangunan bandara pun masih sederhana, tidak ada para penjemput yang ramai, restoran yang menjajakan makanan, bahkan taksi atau travel bandara yang menawarkan jasa pun tidak ada. Kantin bandara pun hanya sebuah warung kecil yang tidak permanen, pos penjaga pintu masuk yang sederhana dan suasana anak-anak bermain di sekitar bandara.

Di sisi lain saya pun berpikir, kondisi disini sangat berbeda dengan bandara di Bali yang penuh dengan prestise sebagai sebuah bandara internasional. Sedangkan di Bandara Tambolaka memang sepenuhnya difungsikan sebagai sarana transportasi yang mengangkut para penumpang antar pulau dengan kecepatan waktunya dibandingkan dengan kapal laut.

Mencari tempat makan siang pun susah. Karena memang didominasi oleh hamparan tanah kosong, pepohonan dan hewan ternak. Jarak antar rumah warga pun berjauhan. Perjalanan saya selanjutnya menuju sebuah pantai di daerah Waitabula yang bernama Pantai Waikelo, sebelum menjemput seorang teman lagi dan menuju ke tempat tujuan saya di daerah Waibakul.

Walaupun di bawah terik matahari, tetapi saya tetap bersemangat ketika sampai di Pantai Waikelo. Rasa penasaran pun semakin menjadi-jadi dan ingin segera berkeliling di pantai ini. Saya disambut oleh serombongan anak SD yang berasal dari daerah Kodi. Mereka mengadakan acara perpisahan siswa kelas 6 di pantai ini. Mereka menggunakan mobil pick up dan truk yang ditempuh dalam waktu 1,5 jam dari Kodi hingga sampai di pantai ini. “ Perpisahan diikuti oleh siswa kelas 3 sampai 6. Ada acara makan bersama, menyanyi dan bermain,” ujar Arce siswi kelas 6 dengan logat khas Sumba yang sempat saya ajak ngobrol.

Pantai Waikelo kala itu tidak ramai dikunjungi masyarakat, hanya diramaikan oleh rombongan anak SD dari Kodi itu. Pantainya dikelilingi karang dan anak-anak nampak asyik bermain mencari ikan-ikan kecil.

Tidak hanya sampai di Pantai Waikelo, perjalanan saya pun berlanjut. Jalanan pun tidak begitu ramai, suasana pasar masih tradisional, banyak debu beterbangan.

Sebagian besar dataran Sumba didominasi oleh padang sabana. Hamparan rumput nampak di sisi jalan, yang menjadi tempat hidup bagi kuda-kuda Sumba yang dikenal dengan nama Kuda Sandelwood. Selain itu rombongan kerbau pun tak kalah kompak meramaikan jalanan seusai merumput.
Hal unik pun menjadi pertanyaan. Saya melihat rumah dengan kuburan di depan rumah. Kata seorang teman, itu memang kuburan. Biasanya kuburan keluarga, bisa jadi orang tua atau kakek dan nenek. Maksudnya walaupun mereka telah meninggal namun tetap ada diantara keluarga yang ditinggalkan. Kepercayaan Marapu masih tetap hidup di tengah masyarakat Sumba walaupun agama Kristen dipeluk oleh sebagian besar masyarakat.
Jalanan diramaikan oleh kerbau yang menyebrang sembarangan, anak-anak yang bermain di sore itu dan tentu saja hawa dingin di sepanjang perjalanan. Hari semakin sore menuju malam, perjalanan pun tetap berlanjut melintasi jalanan berliku tanpa lampu penerangan jalan menuju bukit hingga sampai di daerah Waitabula...











Sabtu, 22 Februari 2014


Menyapa Rumput Laut Nusa Penida
            Nusa Penida tidak hanya sebuah pulau di tenggara Pulau Bali. Bila menyusuri pesisir utara menuju timur pulau ini, rumput laut yang dijemur menyapa siapa pun yang melintas. Aromanya khas. Panen langsung dari lahannya.
            Mengikat bibit, menanam dan memanen rumput laut menjadi hal biasa. Di Dusun Batu Mulapan misalnya. Profesi menjadi petani rumput laut merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk.
            Pesisir yang landai menjadi area tepat bagi lahan rumput laut. Ditambah cuaca yang cerah, ombak dan angin yang stabil semakin menggugah semangat petani bekerja. Warga lokal pun menyebut rumput laut sebagai bulung. Jenisnya beragam. Namun jenis yang biasanya dikembangkan adalah katoni dan spinosum.

Petak-petak lahan rumput laut di Nusa Penida
            Ketut Narti (35) salah satunya. Wanita tangguh ini sudah akrab dengan rumput laut sejak berusia 15 tahun. Menggarap lahan rumput laut seluas 2 are tetap dilakoninya meskipun suaminya telah meninggal. Bulung gadang menjadi pilihan untuk ditanam di lahannya di Dusun Batu Mulapan. “Lahan disini hasil rumput lautnya bagus. Pemandangannya juga bagus,” ungkapnya.
Ketut Narti saat menanam ikatan rumput laut di lahannya
           Tidak mengherankan Ketut Narti berkata begitu. Lahan rumput lautnya ada di wilayah strategis. Melintasi jalan tanjakan menuju Goa Giri Putri, mata akan tertuju dengan hamparan lahan rumput laut di pinggir pantai.
Berhenti sejenak . Terperangah dengan hamparan lahan ini seakan menyapa setiap yang melintas
Mengikat bibit, menanam dan memanen rumput laut adalah proses singkat budidaya rumput laut. Tak lupa dikeringkan dan fermentasi. Rumput laut hijau akan berubah berwarna putih saat kering. Dikeringkan di halaman atau pinggir jalan dengan beralaskan tikar atau terpal menjadi pemandangan lain di jalanan Nusa Penida.
Setelah kering, rumput laut siap dijual. Ditempatkan dalam karung-karung beras siap dikumpulkan ke pengepul. “ Di Nusa Penida belum ada pabrik pengolahan rumput laut. Harga per kilogram rumput laut sekitar 4.000 rupiah per kg. Jadi harga murah sudah biasa,” ucap Nyoman Kita yang sudah 13 tahun menjadi petani rumput laut.

Hasil panen rumput laut dipikul menuju daratan
Aroma khas rumput laut tetap menyapa hingga kini. Menandakan kehidupan khas masyarakat pesisir tetap mewarnai pulau yang masuk wilayah Kabupaten Klungkung, Bali.

Jumat, 21 Februari 2014

Tak Hanya Smartphone, Manusia pun Harus Pintar


Febi nampak asyik dengan tabletnya. Mengabadikan penampilan sepupunya, Rio dalam sebuah pementasan Tari Baris di balai banjar.

Apa yang dilakukan Febi menjadi salah satu bukti perkembangan teknologi informasi saat ini. Semuanya serba mudah dan praktis. Tinggal mencari menu kamera dan jepret, foto pun tersimpan. Momen Rio menari tak akan terlewatkan.

Telepon selular (ponsel) saat ini tidak hanya untuk berkomunikasi saja. Banyak fitur yang disajikan oleh kehadiran smartphone (ponsel pintar). Mulai dari foto hingga berjejaring dengan media internet.

Jadi sudah kamu gunakan untuk apa ponsel pintarmu? Main twitter? Facebook? atau foto selfie?

Tidak hanya untuk urusan pribadi, ponsel pintarmu bisa berguna. Mengabadikan peristiwa dan membagikannya kepada dunia salah satunya.

Tentunya mengabadikan peristiwa tidak hanya melalui tulisan, foto juga bisa. Bahkan foto pun bisa bercerita layaknya tulisan. 

Foto apa yang terjadi di sekitarmu kemudian unggah ke media sosialmu, maka dunia pun akan tahu dalam waktu sekian detik.

Lomba foto di bawah ini bisa jadi salah satu sarana. 



Temanya pun spesial, menarik dan unik : " Pekerjaan Rumah dari Indonesia untuk Pemimpin Indonesia".

Spesial karena tahun 2014 yang katanya tahun politik. Calon pemimpin bangsa akan bertarung dalam pemilu 5 tahunan memperebutkan posisi menjadi pemimpin Indonesia.

Menarik karena pesertanya adalah pelajar atau mahasiswa di seluruh Indonesia. Pelajar dan mahasiswa adalah generasi muda yang akan meneruskan perjuangan bangsa di masa depan. Kepekaan pelajar dan mahasiswa terhadap pekerjaan rumah bagi pemimpin dituntut dalam lomba ini. Mulai dari hal kecil di sekitar bisa menjadi objek foto yang mungkin akan menggelitik pemimpin bangsa.

Unik pun karena temanya dari wilayah Indonesia Timur. Indonesia Timur menyimpan banyak potensi yang patut dikembangkan. Begitu pula dengan masalah. Harus diselesaikan. Itulah namanya pekerjaan rumah.

Spesial, menarik dan unik bukan?

Mari latih kepekaan akan lingkungan sekitar dan kecakapanmu dalam menggunakan teknologi sebagai bekal di masa depan :)



Jumat, 28 Desember 2012

Wow! Ramenya..



" Wow tumben Rapat Redaksinya rame! "


           Itulah kata-kata yang bisa mengungkapkan bahagia dan bersyukurnya saya. Ya memang rapat redaksi di @persakademika sejak dua tahun yang lalu saya masuk organisasi ini selalu sepi. Tapi syukurlah saat rapat redaksi perdana ini yang hadir mencapai 28 orang. Berhubung program kerja redaksi untuk tahun kepengurusan ini bisa dikatakan padat. Target untuk tahun ini terbitannya berupa buletin2, flyer, tabloid dan tulisan di media online. Rasa lelah memimpin rapat pun tak terasa. Walau harus menunda waktu makan malam. Terimakasih atas kepercayaan kawan-kawan. Semoga melalui semangat rapat redaksi perdana ini bisa tetap semangat hingga pengerjaan produk akademika. Hingga proses distribusi dan sampai di tangan civitas Akademika Udayana. Mungkin tulisan singkat ini merupakan ekspresi yang tak bisa saya tuliskan semuanya. Intinya, tetap Semangat Kawan ^^

Published with Blogger-droid v2.0.9

Rabu, 19 Desember 2012

                            Menapak Sejenak ke Bulian


         Cuaca jumat yang cerah (18/05), mengiringi perjalanan menapaki jalan perbukitan menuju sebuah desa tua yang berlokasi di daerah ujung utara Pulau Bali. Sebuah desa tua yang terletak di Kabupaten Buleleng menyimpan sebuah sejarah yang menarik ditelusuri. Desa Bulian nama desa tersebut. 

         Menapaki jalan menuju desa tua ini, kita akan disuguhi pemandangan perbukitan nan sepi. Desa Bulian memang berjarak cukup jauh dari Kota Denpasar yakni sekitar 108 km. Pemandangan bukit yang hijau namun sesekali gersang, menemani perjalanan memasuki desa tua ini. Sesekali tampak anak-anak desa yang tak mengenal lelah berjalan selepas pulang sekolah berkilo-kilo meter.

Gerbang masuk " Desa Bulian yang dipenuhi oleh barisan pepohonan dan perbukitan

        Jika kita diingatkan kembali mengenai sejarah kerajaan pertama di Indonesia, maka nama Kerajaan Kutai lah yang muncul. Namun siapa sangka di desa terpencil ini tersimpan '' kotak misteri' perjalanan kerajaan tua di Bali.

           Berdasarkan penuturan I Gede Suardana Putra, mantan Kepala Desa Bulian, Desa Bulian merupakan desa tua. “ Jika yang dilihat sebagai dasar adalah cerita para leluhur dan beberapa peninggalan kuno lainnya seperti, tulisan-tulisan prasasti dan lontar-lontar dan dari segi tatanan upacaranya,” tuturnya.

        Di Desa Bulian itu sendiri telah menyimpan berbagai peninggalan bersejarah. Peninggalan tersebut meliputi, Prasasti Bulian A dan B, Awig-awig Desa Bulian 1320, Awig-awig Desa Kubutambahan 1711, Lontar Kusuma Dewa, Lontar Tingkahing Mungkah Parahyangan, Lontar Sangkul Pinge, Sejarah Desa Bulian, Ketuturan Jero Pasek Bulian, Catatan Sejarah Raja-raja Bali Kuno Dr. R. Goris. Dan konon katanya Desa Bulian menyimpan ''kotak misteri' perjalanan kerajaan tua di Bali.

          “Dr. R Goris mempunyai tulisan mengenai Desa Bulian yang berupa naskah pribadi saja. Namun belum ada bukti autentik mengenai Desa Bulian sebagai kerajaan pertama di Bali. Indikasi ada tapi lokasi pasti mengenai Kerajaan Bali belum diketahui, “ pungkas I Gusti Made Suarbawa, Peneliti Balai Arkeologi Denpasar.

                Terlepas dari hal tersebut, di Desa Bulian terdapat dua peninggalan prasasti yaitu, Prasasti Bulian A dan Prasasti Bulian B. Prasasti Bulian A intinya berisi hal yang menyangkut tentang pemungutan pajak, profesi masyarakat, tindak pidana dan pembagian warisan.  

Peta wilayah Desa Bulian

           “ Desa Bulian dulunya bernama Desa Banyu Buah. Dimana dalam prasasti ini disebutkan pegawai pajak memungut pajak secara berlebihan. Sehingga menimbulkan sengketa antara penduduk dengan petugas pemungut pajak,” ulas I Gusti Made Suarbawa.

               Pernyataan ini diperkuat dengan cerita dari mantan Kepala Desa Bulian, I Gede Suardana Putra yang menyebutkan bahwa masyarakat Banyu Buah memberontak karena pajak yang dipungut berlebihan oleh pegawai pajak. Menurutnya, diperkirakan letak Kerajaan Bali Kuno awalnya di Desa Kawista yang merupakan Kubutambahan. “ Kemudian Kubutambahan hancur abad ke-3 kemudian munculah Desa Banyu Buah,” jelasnya.

               Sedangkan dalam Prasasti Bulian B berisikan tentang masalah keamanan yang menjadi isu mayor. Dimana dalam prasasti tersebut Desa kawista yang berubah menjadi hutan dan menjadi sarang perampok. Dan terdapat isu lain seperti alih fungsi lahan dari hutan menjadi sawah untuk keamanan, perekonomian dan lingkungan.

                 Mungkin cerita prasasti tersebut menjadi sedikit gambaran akan kekayaan yang ada di desa tua ini. Desa Bulian memang merupakan desa yang sepi, tenang namun sarat misteri. Berbeda dengan daerah di selatan Pulau Bali yang penuh hiruk pikuk pariwisata ala "barat".  Sebuah perjalanan yang menarik untuk mengetahui sisi lain Pulau Bali yang terkenal dengan sejuta pesonanya. Dengan dibungkus oleh atmosfer ketenangan untuk berlari dari sesaknya Kota Denpasar sejenak.