Kamis, 04 September 2014

Menebus Dosa Hingga Telur Mereka Menetas

Jika saat tahun 1970an, Kelompok Ramayana mempunyai kegemaran memburu puluhan ribu penyu hingga ke Alas Purwo, Jawa Timur, saat ini penerusnya yang menamai diri Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih melakukan hal sebaliknya. Mencoba melestarikan penyu bagi generasi masa depan.

“Ibarat menebus dosa masa lalu. Dulu ayah saya seorang pemburu penyu,” ungkap I Wayan Anom Astika Jaya, Bidang Konservasi Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih, Dusun Mekarsari, Desa Perancak, Kabupaten Jembrana, Bali.

Sekitar 95% penduduk Desa Perancak memang menggantungkan kehidupannya dari laut. Hal ini membuat sebuah kelompok nelayan bernama Ramayana berjaya pada zamannya. “ Pada tahun 1970an, hasil tangkapan penyu yang didapat kelompok ini cukup banyak. Mulai dari penyu belimbing, sisik dan hijau. Hal ini pun terjadi terus-menerus bahkan kelompok ini memilik kandang penyu sendiri,” cerita I Wayan Anom Astika Jaya.

Memasuki era 1990an membuat benak ayah I Wayan Anom Astika Jaya, I Wayan Tirta menjadi jengah. I Wayan Tirta yang kini menjadi Ketua Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih bersama anggota Kelompok Ramayana yang lain mulai memutar otak. Semakin berkurangnya jumlah populasi penyu dan Bali yang menjadi sorotan internasional terkait pemburuan penyu.

Berdasarkan data Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA), pada tahun 1969 sampai 1999, kebutuhan penyu di Bali khususnya penyu hijau (Chelonia mydas) mencapai 19.628 ekor hingga 30.121 ekor per tahun. Terlebih lagi pembeberan bukti bahwa Bali menjadi tempat pembantaian sekitar 35.000 penyu pada tahun 1996 membuat I Wayan Tirta bersama anggota lainnya untuk “menebus dosa”.

Kedatangan World Wildlife Fund (WWF) di tahun yang sama menjadi angin segar bagi pelestarian penyu di Desa Perancak. “Tahun 1996, WWF datang untuk melihat dan meninjau kawasan habitat penyu di pantai daerah Perancak,” lanjut I Wayan Astika Jaya.

Hal serupa diungkapkan pula oleh I Komang Gunawan, “ Dari WWF membantu dan mengajarkan kami tentang konservasi. Dulu ayah saya juga seorang pemburu penyu,” ucap pria yang menjadi Sekretaris Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih ini.

Setahun kemudian, seekor penyu lekang (Lepidochelys olivacea)  mendarat untuk bertelur di areal Pantai Perancak. Ditemukannya empat sarang penyu dengan jumlah telur sebanyak 398 butir mulai menjadikan kawasan ini favorit bagi penyu untuk bertelur.

Tahun 1997 menjadi awal penebusan dosa I Wayan Tirta dan teman-temannya. Melalui pendampingan dari WWF, Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih terbentuk. Secara resmi kelompok ini berdiri pada 11 Juni 1997 dan menjadi satu-satunya kelompok yang bergerak di bidang pelestarian penyu dari 260 kelompok pelaku utama perikanan di Kabupaten Jembrana.

Dengan mengusung nama “Kurma Asih” yang berasal dari bahasa Sansekerta. Kurma berarti penyu dan Asih berarti sayang. Kawasan pelestarian penyu ini kini menempati areal seluas 22 are di daerah pesisir Pantai Perancak. Tanah tersebut merupakan hibah dari Gubernur Bali pada tahun 2000.

“Dulu memang sangat sederhana sekali. Hanya menggunakan daun kelapa sebagai atap dan terpal berisi air asin tempat penyu kecil ditempatkan sementara sebelum dilepas,” ungkap I Komang Gunawan sambil menunjukkan kolam-kolam penyu yang kini sudah dibuat permanen dari semen.

Peningkatan jumlah penetasan telur penyu semi alami dari tahun 1997 hingga 2013 pun terjadi. Jumlah sarang yang awalnya hanya 4 sarang pada tahun 1997 meningkat lebih dari 4 kali lipat di tahun 2010 yang mencapai 455 sarang dengan 36.400 butir telur penyu.

Jenis penyu yang menetaskan telur di tempat ini beragam mulai dari Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Penyu lekang (Lepidochelys olivacea) menjadi penyu dominan yang bertelur. Hingga tahun 2013 jumlah tukik yang dilepas adalah sebanyak 182.769 butir dari 190.184 butir telur yang menetas.

Bulan April hingga September biasanya menjadi musim bagi para penyu yang singgah ke wilayah pesisir Perancak untuk bertelur. Kondisi pesisir Perancak yang berpasir hitam membuat penyu-penyu siap menetaskan calon tukik mereka. Hal ini membuat I Komang Gunawan dan kelompoknya berjaga saat musim-musim ini. “ Kami selalu melakukan monitoring saat musim penyu bertelur,” kata pria yang akrab disapa Sinyo ini.

Jumlah anggota kelompok yang tidak begitu banyak, tidak menyurutkan niat anggota kelompok ini untuk menjaga kelestarian penyu. Beranggotakan 15 orang, kelompok swadaya masyarakat ini tidak merasa kecil. “Kami merasa besar karena banyak pihak yang mendukung. Sekalipun mereka tidak langsung terlibat. Namun dukungan secara moriil sangat berarti,” ujar I Wayan Anom Astika Jaya.

Pria berusia 48 tahun ini menyebutkan salah satu kelompok Nelayan bernama Mina Benteng Perkasa yang ada di daerah Perancak juga turut memiliki keprihatinan dan kepedulian yang besar terhadap konservasi sumber daya alam yang ada.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menjadi acuan kelompok ini bekerja.Terlebih lagi dengan adanya pencadangan KKP yang akan melibatkan Kurma Asih, membuat I Wayan Anom Astika Jaya mewakili kelompoknya menyambut baik program ini. “ Program yang sangat brilian. Seyogyanya masyarakat dilibatkan karena masyarakat yang akan menjadi pemeran utama. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat posisi dalam bentuk perlindungan. Sebenarnya Kurma Asih sudah memulainya. KKP akan menjadi sebuah pemerkuat konservasi,” komentarnya.

Pencadangan KKP ke depannya akan membawa angin segar bagi para penyu untuk singgah bertelur di Perancak. Tukik-tukik akan siap menetas tanpa dibayangi rasa takut. Penebusan dosa yang dilakukan I Wayan Tirta bersama penerus dan kelompoknya memberikan harapan bagi generasi mendatang. Melihat tukik besar menjadi penyu dan kembali ke Perancak untuk menetaskan generasi mereka.

*Tulisan ini saya tulis untuk website jejaring KKP Bali http://nyegaragunung.net/dari-pemburu-jadi-pelindung-penyu/ dengan diedit sebelumnya. Inilah tulisan asli sebelum diedit.

Senin, 01 September 2014

 Japanese Cave in Klungkung



Bali is not only famous with Kuta Beach and Mount Agung. Historical attractions also become something interest to visit.

Across the border of Gianyar and Klungkung , will be marked by a large statue of an elephant with a deer on it . But there are interesting in this border, a row of caves in the sights of the region.

Local people called it a Japanese Caves. It called so because is supposedly used as a hiding place for Japanese troops during World War 2 . The height of caves was not so high. There are 16 caves with the height no more than 170 cm . Commonly this height was the size of the Japanese troops who hide in this caves.

Japanese cave become a silent witness to the history of colonization that occurred in the past . But unfortunately not enough information boards posted at the entrance of this historical site. Sixteen caves are connected to each other . The depth of the cave was not so deep. The first cave is located in the north, while the last cave is located in the south side which is marked by a house where a sculptor and painter Sabda Alam, Made Sukanta Wahyu put his sculpture carvings.
This lack of information makes the tourists do not appear to look down this cave. Moreover billboards candidates appear to cover the existence of this cave from the road. Lack of government attention to the historical sites makes even less attractive to visit by tourists. At least, this site become a silent witness history in Bali.

Only old local people looked around this area. They look clean the bottom of the cave and put firewood from the forest in the cave. Natural shades are very visible in this cave area. Tukad Bubuh and large elephant statue with deer on it becomes a marker where the caves are located. Which is on the right side of the road towards the town of Gianyar .